Selasa, 07 Desember 2010

NATAL; RENUNGAN MINGGU ADVENT

Jauh di dalamnya, yang dirayakan adalah cinta.
Kelahiran cinta, meski sebenarnya cinta sudah ada bersama-sama dengan manusia.
Dari semula manusia diciptakan, manusia diciptakan karena cinta, oleh cinta, dalam cinta dan juga untuk cinta.
Namun manusia merusaknya, keinginan untuk lebih berkuasa merusak cinta, keinginan untuk memiliki lebih juga melemahkan cinta, nafsu manusia semakin menenggelamkan cinta. Manusia menjadi rusak, karena cinta yang melingkupi sejak ia diciptakan telah pudar, gambar cinta tak lagi akrab dengan manusia. Cinta menjadi asing, menjadi aneh, cinta tak lagi bagian dari manusia.
Bukan masalah lama atau cepat, hadirlah sosok manusia yang menjadi wujud cinta murni, seluruh hidup-Nya adalah perwujudan cinta. Ia yang mengingatkan kembali bahwa manusia pada hakikatnya adalah makhluk cinta. Ia yang memulihkan kerusakan manusia, Ia menunjukkan pada manusia bahwa hidup dalam cinta adalah jalan terbaik bagi manusia, dan oleh Dia manusia kembali mengenal cinta.
Untuk menjadi wujud cinta tidak mudah, karena Ia menyingkirkan tabir nafsu, kekuasaan dan kerakusan manusia yang melekati manusia. Sekian lama segala hal itu menyelimuti manusia, tentu sakit bagi manusia untuk melepaskannya. Ia pun disingkirkan dengan cara yang sangat menyakitkan. Itulah perjuangan yang Ia lakukan untuk manusia.
Perjuangan yang Ia lakukan belum usai, Ia juga mempunyai harapan bahwa semua yang mengikuti-Nya merasakan cinta, menyebarkan cinta. Kini adalah waktu bagi semua yang merayakan cinta untuk menyebarkan ajaran cinta ini, pada manusia yang masih hidup dalam nafsu, keinginan, kekuasaan dan kerakusan. Namun terlebih dari itu, biarlah hanya cinta yang ada dalam hidup setiap hati, menguasai setiap pikiran, dan gerak manusia. Selamat Menghayati Minggu-Minggu Advent.
Cinta untuk semua.

Senin, 01 November 2010

Terlambat Mengerti

Fenomena la nina yang melanda sebagian wilayah di Indonesia begitu
berpengaruh di desa kecil di Sumbermanjing Wetan, kab. Malang ini. Di
Desa Sidoasri pada bulan September 2010 saja banjir terjadi hingga 4
kali. Asal ada hujan deras selama 2 hingga 3 jam saja sudah bisa
dipastikan air sungai akan segera memasuki perkampungan warga desa.
Salah satu banjir yang terbesar hingga merendam kurang lebih 300an
rumah warga.

Karakter banjir pun adalah air lewat saja, bukan menggenang hingga
beberapa hari, karena lokasi desa yang ada di dalam range 5km dari
pantai. Air sungai meluap, dan segera lewat menuju samudera. Karena
karakter ini juga yang membuat banjir tak terlihat parah dan tampak
kurang "menyiksa". Namun ada penderitaan yang tertangkap adalah
keputusasan warga dalam menghadapi banjir yang selalu mengikuti hujan
deras. Jika hujan turun pada siang atau sore ya lumayan, namun jika
malam atau dini hari maka terpaksa tidak tidur. Ya kejenuhan yang
menjadi masala.

Ditengah kejenuhan itu ada sekelompok orang yang merenungi hal itu,
dalam perenungan itu mereka menemukan bahwa salah satu penyebab
mudahnya air sungai meluap adalah sungai yang mengalami pendangkalan.
Mereka pun merunut lagi, kenapa sungai mengalami pendangkalan ? Mau
tidak mau, mereka melihat bahwa ada praktik tidak sehat yang ada di
desa itu, yaitu destruktiv logging. Ada guratan-guratan akibat longsor
yang terlihat jelas di sisi gunung yang mengarah ke sungai.

Longsoran-longsoran itu hanya tambahan saja, sebelum ada guratan tanah
longsor yang terlihat, sungai sudah mengalami pendangkalan. Akibat
pembukaan hutan, dan mengganti tumbuhan hutan dengan pisang dan kopi,
tanah-tanah menjadi lebih mudah terbawa air, proses ini terjadi selama
bertahun-tahun, dimulai ketika pembukaan hutan berlangsung. Para
perenung itupun mengingat masa-masa terjadinya pembukaan hutan itu.
Menyesal ? Tidak mereka tidak menyesali hal itu.

Ada dua pilihan hidup pada awal pembukaan hutan itu terjadi. Memilih
hidup miskin dengan hutan lestari atau perbaikan ekonomi dengan
membabat hutan. Sama-sama berat, bahkan dalam batin pun sebenarnya
berkecamuk hingga kini (dari sekian banyak warga desa ini tersisa 1
orang petani yang tidak mau membuka hutan dengan alasan ekologis).
Pilihan satu miskin di lumbung padi, pilihan dua, bisa jadi
makmur diantara bangkai.

Entah apa hasil dari perenungan beberapa orang itu, namun semoga bukan
sesuatu yang terlambat. Doakan semoga mereka bisa menyusun aksi dalam
waktu yang lebih cepat, sukur-sukur bisa memberi alternatif dari dua
pilihan hidup dia atas.

Sabtu, 24 April 2010

Dauran MD Malang 2

Sabtu (24/4), pagi cerah mengawali hari ini, membawa semangat dalam menjalani persidangan MD Malang 2 di Jemaat Sobrah, April 2010 ini. Pada hari ke-2 ini peserta sidang akan memilih Pelayan Harian Majelis Daerah untuk masa bakti 2010-2012.
Dan tak panjang lebar, berikut personil untuk PHMD Malang 2 Masa Bakti 2010-2012 :
1. Ketua : Pdt. Chrysta BP Andrea
2. Waket : Pdt. Abednego AN.
3. Sekr1 : Pdt. Hari Sabda Winedar
4. Sekr2 : Pdt. Suwito
5. Bendh1 : Pnt. Prasetyoadi
6. Bendh2 : Pnt. Tri Puspa
7. PU : Pdt. Kristanto
Nah, itu tadi rekan-rekan pelayan di PHMD Malang 2.
Sementara itu, Sidang juga menunjuk utusan ke Majelis Agung dengan komposisi 3 Pendeta dan 4 warga, sbb :
1. Pdt. Chrysta BP Andrea
2. Pdt. Abednego AN
3. Pdt. Hari Sabda Winedar
4. Bpk. Sukiento
5. Bpk. Agung Setyanto
6. Bpk. Siswo Pranoto
7. Bpk. Suryono M.
Nah, itu tadi utusan MD yang dipilih sebagai representasi MD Malang 2 untuk sidang Majelis Agung.
Oke..Selamat Melayani semoga menjadi berkat.

Selasa, 08 Desember 2009

Catatan Dauran Majelis 2009, masa bakti 2010-2012

(8/12) Usai sudah proses pemilihan penatua dan diaken daur 2010-2012 di GKJW Jemaat Tambakasri. Berbeda dengan Jemaat-jemaat di wilayah perkotaan, bisa jadi proses lebih mudah karena calon terpilih (banyak yang) bersedia menjadi penatua-diaken. Tetapi berbeda dengan jemaat-jemaat di desa-desa yang terbentuk dari komunitas Kristen di daerah Malang Selatan. Di daerah ini istilah "pisowanan", atau istilah plesetan "menaros" (pak christa, aku pinjam istilahmu) yang berasal dari bahasa Jawa "tari" artinya tawar, atau tawar jadi menaros artinya menanyai, menawar(i). Pisowanan ini dilakukan kepada para calon anggota majelis. Kesedian dari para calon diketahui melalui pisowanan. Otomatis, dari pisowanan ini pula diketahui ketidaksediaan untuk menjadi anggota majelis.
Ada keengganan memang untuk menjadi penatua-diaken. Secara sosial, para penatua-diaken ini menempati strata yang lebih tinggi dari warga jemaat, bahkan dalam desa posisinya lebih di-"sengker" daripada perangkat desa. Tuntutan untuk hidup lebih "kudus" dari warga pada umumnya juga dipasangkan pada para anggota majelis. Akibatnya jika tuntutan-tuntutan tersebut tak terpenuhi, warga dengan karakter keras pantai selatan dan kondisi alam pegunungan karst yang kering, kadang mengingatkan dengan tajam perilaku para anggota majelis. Hal-hal tersebut yang secara tidak langsung membuat kesan bahwa penatua-diaken harus cerdas, lugas menjawab, berpendidikan, pandai berbicara, hidupnya (harus mampu) melakukan semua isi Alkitab, menguasai segala pengajaran gereja. Melenceng sedikit sikat, seblak, dimarahi.
Uraian di atas membantu menjelaskan mengapa ada (banyak) warga jemaat yang enggan menjadi penatua-diaken. Warga merasa seolah penatua-diaken hidupnya terawasi selalu, termasuk dalam berkeluarga. Siap pula dalam hidup sehari-hari menerima dengan sabar kritikan pedas dari warga. Wuihh..singkatnya hidup seperti malaikat. Di desa dengan sebagian warga beragama Kristen hal ini bisa jadi dirasa sulit karena warga gereja adalah tetangga, saudara yang hidup berkumpul sehari-hari.
Akar masalahnya di mana coba ?
1. Kita bisa lihat di Perjanjian Lama, bagaimana para tokoh hidup kudus, tapi tepatkah para penatua-diaken ditempatkan pada posisi nabi Musa, Elia dan Elisa misalnya. Bagaimana dengan Yunus, Raja Daud ? Atau Obaja ?
2. Perjanjian Baru.
Tak banyak syarat ketika Tuhan Yesus memilih para murid. Tetapi dalam Kisah Para Rasul dan surat-surat Paulus pada bagian-bagian Penatua-Diaken ada beberapa hal yang perlu dipenuhi.
Jelas masalah tafsir yang kurang tepat atas teks suci turut menyumbang keengganan warga jemaat menjadi penatua-diaken.
3. Tradisi Gereja, salah satunya adalah tradisi Calvin yang pernah menempatkan para penatua sebagai "polisi syariah" yang mengawasi kehidupan warga, membimbing dan menjadi teladan (yang ini kira-kira aja deh, ga apal catatan kakinya). Otomatis harus bersih, suci dan bukan pelanggar aturan. Tampaknya hal ini muncul pula dalam pengajaran Johannes Emde yang sedikit banyak mempengaruhi GKJW.
4. Konteks Jawa
Pengharapan Jawa bahwa para "pangarso" adalah wakil dari yang ilahi tampaknya terlihat di sini. Sistem kasta ala Hindu juga terasa, ada pembagian kelas kepala desa-ketua jemaat, anggota majelis, perangkat desa, baru warga desa biasa atau awam.
5. Konteks waktu saat ini, beberapa warga memang dalam memilih para penatua-diaken dengan tulus dan penuh pertimbangan. Ada pula yang berprinsip "PDA" (Pokoke Dudu Aku), secara asal memilih warga lain. Sebagian yang lain memilih dengan tujuan "ngapokne" orang-orang yang sering "ngriwuki" atau orang yang tidak aktiv supaya jadi rajin.
Baru 5 hal ini yang terasa, mungkin ada banyak hal lain yang bisa ditambahkan.
Lalu bagaimana mendorong warga supaya dengan hati yang tulus mendengar suara Allah serta menjawab panggilan untuk turut serta dalam pelayanan ? Belum ketemu !!!! Doakan biar cepat ketemu !!!

Jumat, 04 Desember 2009

HP dan SMP YBPK Tambakasri,
Para siswa di tengah perubahan

(5/12) Kurang lebih 5 minggu yang lalu, beberapa siswi di SMP TAMBAKASRI mengalami pingsan bersama-sama, kemudian menjerit-jerit serta mengaku diri sebagai orang lain yang telah meninggal dari desa lain, mengaku pula sebagai korban pembunuhan.
Ada pula yang menggeliat, dan bersuara serak-serak layaknya perempuan tua mengatakan bahwa rumahnya di bekas sumur.
Kejadian berlanjut selama 3 hari selalu ada yang pingsan dan dilanjutkan dengan gejala-gejala seperti di atas.
Beberapa warga sekitar menyebut hal ini sebagai kesurupan atau kerasukan. Kejadian inipun memunculkan pertanyaan pada warga desa Sidoasri, " ana apa ? Selawase urip ya lagi pisan iki ana kedaden kaya mangkene" (ada -gejala apa ? Seumur hidup baru kali ini ada kejadian seperti ini) begitu ungkapan beberapa warga sepuh yang mendengar dan melihat kejadian tersebut.
Diakui atau tidak berdoa menjadi penunjang kekuatan hidup kita, beberapa anak yg bisa berdoa dari batinnya segera dapat terlepas dari kejadian ini. Berbeda dengan beberapa siswi yang masih meronta dan menjerit, sepertinya memang kesadarannya tak lsg pulih.
Kejadian mereda dan kuasa Tuhan dimuliakan, Tuhan melalui para hambanya di MD Malang 2 bersama-sama berdoa untuk anak-anak.
Setelah berlalu, pendampingan pada anak-anak yang terkena gejala-gejala tersebut dilakukan baik oleh pihak SMP melalui guru-guru maupun para penatua diaken dari Jemaat.
Penelusuran akan persoalan ini dilakukan oleh guru-guru dan para penatua-diaken. Memang kondisi keluarga yang tidak kondusif untuk anak-anak, kondisi ekonomi keluarga, dan juga kematangan anak dalam menghadapi tantangan masalah pada tataran usia mereka mempengaruhi terjadinya hal ini.
Jika hal tersebut yang menjadi penyebab, kenapa baru sekarang terjadi ? Hal ini berkaitan dengan adanya perubahan wajah desa Sidoasri, SMP yang terletak di tepi jalan utama desa, bersentuhan langsung dengan perubahan tersebut yaitu pengaspalan jalan. Pengendara sepeda motor yang sebelumnya tidak bisa ngebut karena kondisi jalan kini berlalu lalang dengan leluasa, menimbulkan polusi suara yang membuat anak-anak dan guru jeda sebentar karena tak bisa saling mendengar.
Tower sellular yang berdiri di batas desa membuat telepon genggam menjadi tren baru di desa Sidoasri. Anak-anak dalam usia smp tentu tak mau kalah dalam hal ini, mereka berebut menjadi yang paling wah dengan ikut pula membawa telepon genggam ke sekolah. Hal ini adalah perubahan besar bagi anak-anak, sebelumnya kaya-miskin tak terlalu terasa. TV mereka bisa menonton di tetangga, sepeda motor di desa yang berdusun Tambakasri wetan dan kulon ini bebas dipinjamkan, tak terlalu masalah. Makan minum juga bukan indikator kaya-miskin, karena siapapun bisa makan di rumah tetangga yang hampir semua bertalian darah. Tetapi telepon genggam, mendapat perlakuan berbeda, dia dikantongi, dibawa ke sekolah, menjadi alat hubung siswa ke luar dan menjadi milik yang sangat pribadi. Akibatnya pemisah itupun lahirlah, jurang batas yang selalu tersimpan rapi di desa, pada saatnya terbuka juga. Desa yang menjadi benteng bagi warganya, dengan sistem yang memungkinkan orang bertahan hidup dan berlindung dalam kerukunan persaudaraan, kembali berhadapan dengan modernitas, pemilahan yang jelas.
Sekilas itu yang terjadi, di ambang dunia 7.2 mbps dan optimis bisa lebih lagi menuju Mars, mereka yang terabaikan secara manusiawi, menjadi korban. Tak ada yang mempersiapkan, tak ada yang melatih, dan merekapun beradu dengan perubahan.
Doakan supaya jemaat-jemaat Tuhan di desa Sidoasri dapat menjadi jalan berkat bagi desa Sidoasri ini.

Rabu, 02 Desember 2009

Natal GSJA Sidoasri 2009

(2/12) Panas memang udara siang itu, derajat dalam celcius atau fahrenheit ga penting. Jelas, pake kemeja aja udah keringatan. Tapi rupanya ga menghalangi warga 4 jemaat mengikuti acara yang dilaksanakan pkl. 14.00, meski molor sampai pkl. 15.00.
Acara diawali puji-pujian yang dipandu oleh tim dari GSJA FAMILY BATU, dan pengkotbah oleh Sekretaris 1 BPD JATIM 1 GSJA (kalau ga salah lho ya..) Pdt. Ch. A. Tomatala, M.Div., M. Th., berlangsung meriah, ada penampilan anak-anak sekolah minggu GSJA Sidoasri dan tak kalah juga pemudanya.
Dari GSJA FAMILY BATU juga tak mau kalah, anak-anaknya menampilkan modelling, pemudanya menjadi band pengiring selama acara.
Dalam kotbahnya, Pendeta Tomatala menegaskan bahwa inilah waktunya semua gereja bersatu untuk mewartakan Kristus, yang baik pada semua orang. Karena kedatangannya membawa kehidupan, Ia memulihkan semua, termasuk keluarga dan iman kita, Yesus hadir untuk semua.
Warga GKJW TAMBAKASRI, SOBRAH dan SIDOASRI turut pula hadir dalam acara ini. Dalam acara ini hadir pula Pendeta Tobing dari GSJA FAMILY BATU, Pendeta (sapa ya, lupa) dari GPdI Sumbermas, dan juga yang paling ganteng Pdt Dadi Wirawan, dari GKJW Tambakasri.
Semoga melalui Natal ini, semua gereja dapat bersama-sama membangun desa Sidoasri.

Selasa, 03 November 2009

Pendidikan Kita Kurang Kontekstual ?

I. Anak-anak Usia Pendidikan Dasar 9th Ga Betah di Sekolah.

Tak perlu waktu khusus meneliti demografi warga Sidoasri untuk mengetahui hal ini, cukup tinggal di desa Sidoasri, Sumbermanjing Wetan, kab. Malang beberapa hari saja, maka dapat terlihat ada beberapa anak usia sekolah dasar 9th yang sibuk "bangkat" atau membawa pisang beberapa tandan ke tempat pengumpulan, untuk selanjutnya diangkut oleh "truck".
Jika ditanya, apakah mereka sekolah ? Ada yang menjawab malas, ada yang pusing jika berpikir tentang pelajaran, biaya sekolah juga dikeluhkan beberapa dari mereka, utamanya yang setingkat SMP.
Singkatnya mereka lebih memilih untuk mencari uang daripada mengupayakan bersekolah. Di mana sektor kerja mereka ? Ada yang menjadi buruh pengangkut pisang, dari "thethelan" ke pos pengumpulan pisang. Ada yang menggarap "thethelan", sawah bersama orang tua, ada juga yang dengan modal dari orang tua kemudian membuka bengkel sepeda motor.
Bagaimana orang tua anak-anak ini ? Hal inilah yang unik terjadi, hingga akar masalah tak kunjung terurai hingga kini. Pengalaman penulis dengan salah satu pengurus program nasional PNPM (entah yang generasi sehat atau apa gt), terungkap suatu kasus dalam keluarga yang cukup mampu untuk ukuran desa Sidoasri, si anak ditanya, apakah masih mau sekolah? Jawabnya mau, tetapi orang tua melarang. Ketika orang tua ditanya, jawabnya sebenarnya ingin anaknya bersekolah, tetapi anaknya yang tidak mau. Setelah anak berhenti sekolah, orang tua membelikan sepeda motor baru dan perhiasan emas.
Dari hal ini, jelas bukan biaya, tapi siapa yang bermasalah dengan sekolah ? Anak atau orangtuanya ?
Ada juga yang kini telah berusia 19 tahun, mengaku putus sekolah saat SMP kelas 1, konon karena ia malu diejek temannya. Makanya lebih suka "angon kebo" ketimbang sekolah.

Bersambung deh..