Jumat, 04 Desember 2009

HP dan SMP YBPK Tambakasri,
Para siswa di tengah perubahan

(5/12) Kurang lebih 5 minggu yang lalu, beberapa siswi di SMP TAMBAKASRI mengalami pingsan bersama-sama, kemudian menjerit-jerit serta mengaku diri sebagai orang lain yang telah meninggal dari desa lain, mengaku pula sebagai korban pembunuhan.
Ada pula yang menggeliat, dan bersuara serak-serak layaknya perempuan tua mengatakan bahwa rumahnya di bekas sumur.
Kejadian berlanjut selama 3 hari selalu ada yang pingsan dan dilanjutkan dengan gejala-gejala seperti di atas.
Beberapa warga sekitar menyebut hal ini sebagai kesurupan atau kerasukan. Kejadian inipun memunculkan pertanyaan pada warga desa Sidoasri, " ana apa ? Selawase urip ya lagi pisan iki ana kedaden kaya mangkene" (ada -gejala apa ? Seumur hidup baru kali ini ada kejadian seperti ini) begitu ungkapan beberapa warga sepuh yang mendengar dan melihat kejadian tersebut.
Diakui atau tidak berdoa menjadi penunjang kekuatan hidup kita, beberapa anak yg bisa berdoa dari batinnya segera dapat terlepas dari kejadian ini. Berbeda dengan beberapa siswi yang masih meronta dan menjerit, sepertinya memang kesadarannya tak lsg pulih.
Kejadian mereda dan kuasa Tuhan dimuliakan, Tuhan melalui para hambanya di MD Malang 2 bersama-sama berdoa untuk anak-anak.
Setelah berlalu, pendampingan pada anak-anak yang terkena gejala-gejala tersebut dilakukan baik oleh pihak SMP melalui guru-guru maupun para penatua diaken dari Jemaat.
Penelusuran akan persoalan ini dilakukan oleh guru-guru dan para penatua-diaken. Memang kondisi keluarga yang tidak kondusif untuk anak-anak, kondisi ekonomi keluarga, dan juga kematangan anak dalam menghadapi tantangan masalah pada tataran usia mereka mempengaruhi terjadinya hal ini.
Jika hal tersebut yang menjadi penyebab, kenapa baru sekarang terjadi ? Hal ini berkaitan dengan adanya perubahan wajah desa Sidoasri, SMP yang terletak di tepi jalan utama desa, bersentuhan langsung dengan perubahan tersebut yaitu pengaspalan jalan. Pengendara sepeda motor yang sebelumnya tidak bisa ngebut karena kondisi jalan kini berlalu lalang dengan leluasa, menimbulkan polusi suara yang membuat anak-anak dan guru jeda sebentar karena tak bisa saling mendengar.
Tower sellular yang berdiri di batas desa membuat telepon genggam menjadi tren baru di desa Sidoasri. Anak-anak dalam usia smp tentu tak mau kalah dalam hal ini, mereka berebut menjadi yang paling wah dengan ikut pula membawa telepon genggam ke sekolah. Hal ini adalah perubahan besar bagi anak-anak, sebelumnya kaya-miskin tak terlalu terasa. TV mereka bisa menonton di tetangga, sepeda motor di desa yang berdusun Tambakasri wetan dan kulon ini bebas dipinjamkan, tak terlalu masalah. Makan minum juga bukan indikator kaya-miskin, karena siapapun bisa makan di rumah tetangga yang hampir semua bertalian darah. Tetapi telepon genggam, mendapat perlakuan berbeda, dia dikantongi, dibawa ke sekolah, menjadi alat hubung siswa ke luar dan menjadi milik yang sangat pribadi. Akibatnya pemisah itupun lahirlah, jurang batas yang selalu tersimpan rapi di desa, pada saatnya terbuka juga. Desa yang menjadi benteng bagi warganya, dengan sistem yang memungkinkan orang bertahan hidup dan berlindung dalam kerukunan persaudaraan, kembali berhadapan dengan modernitas, pemilahan yang jelas.
Sekilas itu yang terjadi, di ambang dunia 7.2 mbps dan optimis bisa lebih lagi menuju Mars, mereka yang terabaikan secara manusiawi, menjadi korban. Tak ada yang mempersiapkan, tak ada yang melatih, dan merekapun beradu dengan perubahan.
Doakan supaya jemaat-jemaat Tuhan di desa Sidoasri dapat menjadi jalan berkat bagi desa Sidoasri ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar