Selasa, 08 Desember 2009

Catatan Dauran Majelis 2009, masa bakti 2010-2012

(8/12) Usai sudah proses pemilihan penatua dan diaken daur 2010-2012 di GKJW Jemaat Tambakasri. Berbeda dengan Jemaat-jemaat di wilayah perkotaan, bisa jadi proses lebih mudah karena calon terpilih (banyak yang) bersedia menjadi penatua-diaken. Tetapi berbeda dengan jemaat-jemaat di desa-desa yang terbentuk dari komunitas Kristen di daerah Malang Selatan. Di daerah ini istilah "pisowanan", atau istilah plesetan "menaros" (pak christa, aku pinjam istilahmu) yang berasal dari bahasa Jawa "tari" artinya tawar, atau tawar jadi menaros artinya menanyai, menawar(i). Pisowanan ini dilakukan kepada para calon anggota majelis. Kesedian dari para calon diketahui melalui pisowanan. Otomatis, dari pisowanan ini pula diketahui ketidaksediaan untuk menjadi anggota majelis.
Ada keengganan memang untuk menjadi penatua-diaken. Secara sosial, para penatua-diaken ini menempati strata yang lebih tinggi dari warga jemaat, bahkan dalam desa posisinya lebih di-"sengker" daripada perangkat desa. Tuntutan untuk hidup lebih "kudus" dari warga pada umumnya juga dipasangkan pada para anggota majelis. Akibatnya jika tuntutan-tuntutan tersebut tak terpenuhi, warga dengan karakter keras pantai selatan dan kondisi alam pegunungan karst yang kering, kadang mengingatkan dengan tajam perilaku para anggota majelis. Hal-hal tersebut yang secara tidak langsung membuat kesan bahwa penatua-diaken harus cerdas, lugas menjawab, berpendidikan, pandai berbicara, hidupnya (harus mampu) melakukan semua isi Alkitab, menguasai segala pengajaran gereja. Melenceng sedikit sikat, seblak, dimarahi.
Uraian di atas membantu menjelaskan mengapa ada (banyak) warga jemaat yang enggan menjadi penatua-diaken. Warga merasa seolah penatua-diaken hidupnya terawasi selalu, termasuk dalam berkeluarga. Siap pula dalam hidup sehari-hari menerima dengan sabar kritikan pedas dari warga. Wuihh..singkatnya hidup seperti malaikat. Di desa dengan sebagian warga beragama Kristen hal ini bisa jadi dirasa sulit karena warga gereja adalah tetangga, saudara yang hidup berkumpul sehari-hari.
Akar masalahnya di mana coba ?
1. Kita bisa lihat di Perjanjian Lama, bagaimana para tokoh hidup kudus, tapi tepatkah para penatua-diaken ditempatkan pada posisi nabi Musa, Elia dan Elisa misalnya. Bagaimana dengan Yunus, Raja Daud ? Atau Obaja ?
2. Perjanjian Baru.
Tak banyak syarat ketika Tuhan Yesus memilih para murid. Tetapi dalam Kisah Para Rasul dan surat-surat Paulus pada bagian-bagian Penatua-Diaken ada beberapa hal yang perlu dipenuhi.
Jelas masalah tafsir yang kurang tepat atas teks suci turut menyumbang keengganan warga jemaat menjadi penatua-diaken.
3. Tradisi Gereja, salah satunya adalah tradisi Calvin yang pernah menempatkan para penatua sebagai "polisi syariah" yang mengawasi kehidupan warga, membimbing dan menjadi teladan (yang ini kira-kira aja deh, ga apal catatan kakinya). Otomatis harus bersih, suci dan bukan pelanggar aturan. Tampaknya hal ini muncul pula dalam pengajaran Johannes Emde yang sedikit banyak mempengaruhi GKJW.
4. Konteks Jawa
Pengharapan Jawa bahwa para "pangarso" adalah wakil dari yang ilahi tampaknya terlihat di sini. Sistem kasta ala Hindu juga terasa, ada pembagian kelas kepala desa-ketua jemaat, anggota majelis, perangkat desa, baru warga desa biasa atau awam.
5. Konteks waktu saat ini, beberapa warga memang dalam memilih para penatua-diaken dengan tulus dan penuh pertimbangan. Ada pula yang berprinsip "PDA" (Pokoke Dudu Aku), secara asal memilih warga lain. Sebagian yang lain memilih dengan tujuan "ngapokne" orang-orang yang sering "ngriwuki" atau orang yang tidak aktiv supaya jadi rajin.
Baru 5 hal ini yang terasa, mungkin ada banyak hal lain yang bisa ditambahkan.
Lalu bagaimana mendorong warga supaya dengan hati yang tulus mendengar suara Allah serta menjawab panggilan untuk turut serta dalam pelayanan ? Belum ketemu !!!! Doakan biar cepat ketemu !!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar